1. PENDAHULUAN.
Kodam VII/Wrb merupakan sebuah kompartemen strategis yang wilayah tanggung jawabnya mencakup 6 Propinsi di seluruh Sulawesi. Dengan luas wilayah yang demikian membentang dengan penduduk yang demikian plural, Kodam VII/Wrb dituntut untuk tetap menjaga kredibilitasnya. Sejarah telah membuktikan bahwa keberadaan KodamVII/Wrb tidak pernah menyimpang dari tuntutan tugas dan tanggung jawabnya sehingga kesetiaan kepada Negara kesatuan Republik Indonesia tidak pernah pudar sebagaimana tertuang dalam semangatnya “Setia Hingga Akhir Dalam Keyakinan”.
Keberadaan Kodam VII/Wrb sebagaimana sekarang ini tentunya tidak bisa lepas dari masa lalunya atau sejarahnya. Untuk dapat menemukan jatidiri dan guna menyongsong masa depan yang lebih baik, memaknai sejarah sangatlah tepat. Hal ini disebabkan karena sejarah selalu mengandung tiga dimensi, yaitu masa : lalu – kini -yang akan datang. Keberadaan kita sekarang adalah produk masa lalu; dan produk masa sekarang akan menentukan masa mendatang. Jadi keberadaan sekarang adalah sangat penting karena merupakan jembatan antara masa lalu dan masa depan yang biasanya sebagai impian sekaligus orientasi kehidupan yang semakin meningkat kualitas dan derajatnya.
Masa lalu Kodam VII/Wrb telah 57 tahun terlewati, tentunya kurun waktu 57 tahun dalam pengabdiannya banyak peristiwa yang dilalui dengan suka dan duka seiring dengan dinamika tuntutan tugas pengabdian demi kokohnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bagi prajurit Kodam VII/Wrb hanya satu pilihan bahwa NKRI adalah harga mati bagi TNI. Tekad bulat demikian inilah terus berkembang seiring dengan dinamika perkembangan yang ada yang menjadikan Kodam VII/Wrb menjadi semakin dewasa dan mampu berbuat yang terbaik bagi nusa, bangsa dan Negara dalam jalan dan lindungan Allah SWT.
2. MASA KELAHIRAN DAN PERJUANGAN.
Situasi politik dan keamanan dalam negeri beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, belum menunjukkan titik terang. Dibeberapa di daerah terjadi pemberontakan dan aksi bersenjata yang berbentuk separatis. Kekacauan politik yang terjadi didalam negeri mengakibatkan agresi militer Belanda dan pemberontakan bersenjata diseluruh tanah air mengisi tahun-tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan hingga penyerahan kedaulatan tahun 1949.
Fenomena itu direspon oleh pemerintah dan TNI dengan melakukan konsolidasi dan reorganisasi terhadap institusi militer. Pada tanggal 20 Juni 1950 dibentuk tujuh Territoriun diseluruh Indinesia. Territoium VII berkedudukan di Makassar, dibawah Panglima Letkol Achmad Yunus Mokoginta; Instruksi Teritorium itu tertuang dalam Surat Penetapan KSAD Nomor : 83/KSAD/Pnt/1950.
Pembentukan Teritorium VII/Indonesia Timur yang membawahi wilayah Sulawesi dan Maluku ini, merupakan cikal bakal lahirnya Kodam VII/Wrb. Tanggal peristiwa itu juga dijadikan sebagai acuan tanggal lahir Kodam VII/Wrb, yakni 20 Juni.
Nama Teritorium itu kemudian diubah lagi pada bulan Agustus 1950 menjadi Tentara dan Teritorium (TT). Jumlah TT diseluruh Indonesia tetap sebanyak tujuh. TT VII/Indonesia Timur berkedudukan di Makassar, di bawah Panglima Kolonel Inf. A.E. Kawilarang. Tugas utama TT-VII adalah menghancurkan gerombolan Republik Maluku Selatan (RMS) pimpinan Dr. Soumokil di Maluku. Untuk itu Panglima TT-VII membentuk Komando Pasukan Maluku Selatan dengan Komandan Operasi Panglima TT-VII sendiri, yang kemudian digantikan oleh Letkol Slamet Riyadi dalam melanjutkan penumpasan RMS.
Berdasarkan penetapan Menteri Pertahanan No. 12/MP/1950, tanggal 5 Januari 1950, ditentukan bahwa seluruh wilayah Indonesia, kecuali Irian Barat, dibagi kedalam 11 Teritorium, termasuk Teritorium Sulawesi dan Maluku.
Enam bulan setelah beridirinya Teritorium Sulawesi dan Maluku, diadakan lagi reorganisasi di lingkungan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Reorganisasi ini sehubungan dengan adanya likuidasi Tentara Belanda (KNIL) ke dalam lingkungan APRIS. Sekitar 30.000 orang tentara Belanda bekas KNIL direkrut ke dalam tubuh APRIS. Adanya penambahan personel dan kondisi ancaman pada saat itu, mengakibatkan keberadaan organisasi APRIS ditinjau kembali.
Wilayah teritorial TT-VII/Indonesia Timur meliputi Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Irian Barat. Susunan Komando TT-VII/Indonesia Timur adalah: Panglima Kolonel Inf A.E. Kawilarang, Kepala Staf Letkol Sentot Iskandardinata, Staf 1 Kapten Dolf Runtorambi, Staf II Kpaten Leo Lopulisa, Staf A Letkol Suprayogi, PMT Mayor M. Saleh Lahade.
Berdasarkan penetapan KASAD No. Pnt KASAD-161/KASAD, tanggal 30 Agustus 1950 dan Surat Pnt TT-VII No. 300006/VII/1950 tanggal 17 September 1950 tentang perubahan struktur organisasi dan pembagian wilayah, maka TT-VII/Indonesia Timur dibagi ke dalam empat Kompas (Komando Pasukan). Keempat Kompas tersebut adalah:
Kodam VII/Wrb merupakan sebuah kompartemen strategis yang wilayah tanggung jawabnya mencakup 6 Propinsi di seluruh Sulawesi. Dengan luas wilayah yang demikian membentang dengan penduduk yang demikian plural, Kodam VII/Wrb dituntut untuk tetap menjaga kredibilitasnya. Sejarah telah membuktikan bahwa keberadaan KodamVII/Wrb tidak pernah menyimpang dari tuntutan tugas dan tanggung jawabnya sehingga kesetiaan kepada Negara kesatuan Republik Indonesia tidak pernah pudar sebagaimana tertuang dalam semangatnya “Setia Hingga Akhir Dalam Keyakinan”.
Keberadaan Kodam VII/Wrb sebagaimana sekarang ini tentunya tidak bisa lepas dari masa lalunya atau sejarahnya. Untuk dapat menemukan jatidiri dan guna menyongsong masa depan yang lebih baik, memaknai sejarah sangatlah tepat. Hal ini disebabkan karena sejarah selalu mengandung tiga dimensi, yaitu masa : lalu – kini -yang akan datang. Keberadaan kita sekarang adalah produk masa lalu; dan produk masa sekarang akan menentukan masa mendatang. Jadi keberadaan sekarang adalah sangat penting karena merupakan jembatan antara masa lalu dan masa depan yang biasanya sebagai impian sekaligus orientasi kehidupan yang semakin meningkat kualitas dan derajatnya.
Masa lalu Kodam VII/Wrb telah 57 tahun terlewati, tentunya kurun waktu 57 tahun dalam pengabdiannya banyak peristiwa yang dilalui dengan suka dan duka seiring dengan dinamika tuntutan tugas pengabdian demi kokohnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bagi prajurit Kodam VII/Wrb hanya satu pilihan bahwa NKRI adalah harga mati bagi TNI. Tekad bulat demikian inilah terus berkembang seiring dengan dinamika perkembangan yang ada yang menjadikan Kodam VII/Wrb menjadi semakin dewasa dan mampu berbuat yang terbaik bagi nusa, bangsa dan Negara dalam jalan dan lindungan Allah SWT.
2. MASA KELAHIRAN DAN PERJUANGAN.
Situasi politik dan keamanan dalam negeri beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, belum menunjukkan titik terang. Dibeberapa di daerah terjadi pemberontakan dan aksi bersenjata yang berbentuk separatis. Kekacauan politik yang terjadi didalam negeri mengakibatkan agresi militer Belanda dan pemberontakan bersenjata diseluruh tanah air mengisi tahun-tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan hingga penyerahan kedaulatan tahun 1949.
Fenomena itu direspon oleh pemerintah dan TNI dengan melakukan konsolidasi dan reorganisasi terhadap institusi militer. Pada tanggal 20 Juni 1950 dibentuk tujuh Territoriun diseluruh Indinesia. Territoium VII berkedudukan di Makassar, dibawah Panglima Letkol Achmad Yunus Mokoginta; Instruksi Teritorium itu tertuang dalam Surat Penetapan KSAD Nomor : 83/KSAD/Pnt/1950.
Pembentukan Teritorium VII/Indonesia Timur yang membawahi wilayah Sulawesi dan Maluku ini, merupakan cikal bakal lahirnya Kodam VII/Wrb. Tanggal peristiwa itu juga dijadikan sebagai acuan tanggal lahir Kodam VII/Wrb, yakni 20 Juni.
Nama Teritorium itu kemudian diubah lagi pada bulan Agustus 1950 menjadi Tentara dan Teritorium (TT). Jumlah TT diseluruh Indonesia tetap sebanyak tujuh. TT VII/Indonesia Timur berkedudukan di Makassar, di bawah Panglima Kolonel Inf. A.E. Kawilarang. Tugas utama TT-VII adalah menghancurkan gerombolan Republik Maluku Selatan (RMS) pimpinan Dr. Soumokil di Maluku. Untuk itu Panglima TT-VII membentuk Komando Pasukan Maluku Selatan dengan Komandan Operasi Panglima TT-VII sendiri, yang kemudian digantikan oleh Letkol Slamet Riyadi dalam melanjutkan penumpasan RMS.
Berdasarkan penetapan Menteri Pertahanan No. 12/MP/1950, tanggal 5 Januari 1950, ditentukan bahwa seluruh wilayah Indonesia, kecuali Irian Barat, dibagi kedalam 11 Teritorium, termasuk Teritorium Sulawesi dan Maluku.
Enam bulan setelah beridirinya Teritorium Sulawesi dan Maluku, diadakan lagi reorganisasi di lingkungan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Reorganisasi ini sehubungan dengan adanya likuidasi Tentara Belanda (KNIL) ke dalam lingkungan APRIS. Sekitar 30.000 orang tentara Belanda bekas KNIL direkrut ke dalam tubuh APRIS. Adanya penambahan personel dan kondisi ancaman pada saat itu, mengakibatkan keberadaan organisasi APRIS ditinjau kembali.
Wilayah teritorial TT-VII/Indonesia Timur meliputi Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Irian Barat. Susunan Komando TT-VII/Indonesia Timur adalah: Panglima Kolonel Inf A.E. Kawilarang, Kepala Staf Letkol Sentot Iskandardinata, Staf 1 Kapten Dolf Runtorambi, Staf II Kpaten Leo Lopulisa, Staf A Letkol Suprayogi, PMT Mayor M. Saleh Lahade.
Berdasarkan penetapan KASAD No. Pnt KASAD-161/KASAD, tanggal 30 Agustus 1950 dan Surat Pnt TT-VII No. 300006/VII/1950 tanggal 17 September 1950 tentang perubahan struktur organisasi dan pembagian wilayah, maka TT-VII/Indonesia Timur dibagi ke dalam empat Kompas (Komando Pasukan). Keempat Kompas tersebut adalah:
a. Kompas “A” berkedudukan di Bone dengan Komandan, Letkol Sukowati, wilayahnya meliputi Sulawesi Selatan dan Tenggara.
b. Kompas “B” berkedudukan di Manado dengan Komandan, Letkol JF. Warrouw, wilayahnya meliputi Sulawesi Utara dan Tengah.
c. Kompas “C” berkedudukan di Denpasar dengan Komandan, Letkol A. Kosasih, wilayahnya meliputi Nusa Tengga.
d. Kompas “D” berkedudukan di Ambon dengan Komandan Kolonel Inf. A.E. Kawilarang, wilayahnya meliputi seluruh daerah Maluku dan Irian Barat.
Dalam perkembangan selanjutnya, Panglima TT-VII/Indonesia Timur dalam Surat Keputusan No: 80042/7/VII/1952 tanggal 5 Juli 1952, menetapkan Kompas di tubuh Tentara Teritorium diubah menjadi Resimen Infanteri, meliputi: Kompas “A” menjadi Komando Resimen Infateri 23 yang bermarkas di Bone, Kompas “B” menjadi Komando Resimen Infanteri 24 yang bermarkas di Manado, Kompas “C” menjadi Komando Resimen Infanteri 25 bermarkas di Ambon, dan Kompas “D” menjadi Resimen Infanteri 26 yang bermarkas di Denpasar.
Para Panglima yang pernah memimpin TT-VII/Indonesia Timur adalah Kolonel Inf. A.E. Kawilarang (1950-1951), Letkol Inf. A.Kosasih (1951), Kolonel Inf Gatot Subroto (1951-1952), Letkol Inf. J.F. Warouw (1952-1954), dan Letkol Inf. H.N. Sumanual (1954-1957).
3. PEMBENTUKAN EMPAT KDM DI INDONESIA TIMUR.
Perkembangan situasi keamanan di Indonesia Timur khususnya pada akhir dekade 1950-an yang belum stabil, menuntut terwujudnya kekuatan Militer yang handal melalui institusi militer yang terorganisasi. Institusi semacam itu diharapkan memainkan peran dan fungsi pertahanan yang kuat, pembinaan teritorial yang memiliki jangkauan lebih luas, serta mampu menghadapi berbagai ancaman yang timbul di wilayahnya.
Kebutuhan ini muncul sebgai dampak dari mencuatnya konsepsi strategi perang wilayah atau perang rakyat semesta yang dianggap tepat dalam menghadapi kekuatan kaum separatis yang lebih condong merusak kekuatan integrita nasional. Strategi pertahanan daerah dengan titik berat pulau besar dengan penguasaan unsur daratannya juga mewarnai pandangan dan pemikitan strategi pada saat itu.
Penumpasan kaum separatis RMS di wilayah Maluku menyita seluruh perhatian pemerintah, khususnya Komando TT VII/Indonesia Timur yang kemudian disebut sebagai Komando Tentara dan Teritorium VII/Wirabuana. Sementara di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara penyelenggaraan operasi militer masih berada di bawah Komando TT VII/Wirabuana, dengan pelaksana tugas satuan Komando yang diberi nama Mobile Comando Operatie (MCO).
Konsep baru dalam upaya pemulihan keamanan di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, lahir pada 15 Juli 1956. Konsep baru itu bersumber dari usul KSAD kepada Menteri Pertahanan yang juga didengar oleh Dewan Keamanan. Usul tersebut kemudian disetujui oleh Presiden, sehingga dibentuklah suatu Komando Daerah Pertempuran Sulawesi Selatan dan Tenggara. Lembaga itu kemudian berubah nama menjadi Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan dan Tenggara (KODPSST). Kolonel Inf. Sudirman dari Divisi Brawijaya ditunjuk sebagai Panglima dan Letkol A.Nasuhi dari Siliwangi diangkat sebagai Kepala Staf.
Berdasarkan keputusan tanggal 15 Juli 1956 tersebut, kekuasaan militer di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara dialihkan dari Panglima Komando TT VII/Wirabuana ke Panglima KODPSST sebagai penguasa militer.
Panglima KODPSST Kolonel Inf. Sudirman, atas nama KSAD, meresmikan berdirinya Komando Reserve Umum Hasanuddin pada 5 Oktober 1956. pada saat yang sama juga dilantik Mayor Inf. M. Yusuf sebagai Komandan dan Kapten Inf. Azis Taba sebagai Kepala Staf. Institusi itu kemudian menjadi Resimen Infanteri (RI) Hasanuddin.
Keberadaan TT-VII/Wirabuana dan KODPSST menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan militer di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Dalam rapat para Panglima TNI-AD di Mabes Angkatan Darat pada 15-20 Maret 1957, diputuskan untuk melebur kedua Komando tersebut dengan membentuk empat daerah militer di wilayah Indonesia Timur.
Keputusan rapat Panglima Angkatan Darat tersebut baru disahkan oleh Presiden Soekarno pada awal mei 1957, dengan Surat Keputusan Presiden No. 240/M/1957. selanjutnya pada 7 Juni 1957 diadakan serah terima dari kedua Komando (TT-VII dan KODPSST) kepada KASAD. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 240 M//1957, tanggal 18 April 1957; Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI No. MP/A/77/57, tanggal 27 April 1957; dan Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI No. MP/A/465/57, tanggal 26 Mei 1957 dalam rangka reorganisasi Angkatan Darat, dilakukan likuidasi terhadap TT-VII dan KODPSST, sebagai kelanjutan dibentuk empat Komando Daerah Militer di wilayah Indonesia Timur, yaitu:
a. Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDMSST) berkedudukan di Makassar yang kemudian disebut Kodam XIV/Hasanuddin.
b. Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah (KDM-SUT) berkedudukan di Manado, yang selanjutnya dirsebut Kodam XII/Merdeka.
c. Komando Daerah Militer Maluku dan Irian Barat (KDM-MIB) berkedudukan di Ambon, yang kemudian disebut Kodam XIV/Pattimura, dan
d. Komando Daerah Militer XVII/Cendrawasih dan Komando Daerah Militer Nusa Tenggara (KDM-NT) berkedudukan di Denpasar, yang kemudia disebut Kodam XV/Udayana.
Sedangkan untuk penyempuraan Komandan antara Daerah Militer di bekas wilayah administraritf TT-VII/Indonesia Timur, dibentuk Komando Antara Daerah Indonesia Timur (KOANDAIT).
Institusi KOANDAIT berfungsi untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan pertahanan antara KDm_KDM yang ada di Indonesia Timur. KOANDAIT sekaligus juga merupakan kompartemen strategis kewilayahan TNI-AD dengan titik berat penjabaran strategi matra darat dengan spesifikasi penguasaan pulau-pulau besar yang ada di wilayah itu.
Dengan berdirinya KOANDAIT sebagai kompartemen strategis, maka secara otomatis keempat Komando Daerah Militer (KMD) di Indonesia Timur berfungsi sebagai sub kompartemen strategis yang berada dibawah KOANDAIT.
4. Peralihan dari KDM-SST KE KODAM XIV/HASANUDDIN.
Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden dan Menteri Pertahanan tentang Peleburan Dua Komando (TT-VII dan KODPSST), maka KSAD mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: Kpts-288/5/1957, tanggal 27 Mei 1957 tentang perubahan dari Komando Resimen Infanteri (Komenif) menjadi KDM-SUT, KDM-SST, KDM-MIB DAN KDM-NT.
Selanjutnya melalui Surat Keputusan KSAD Nomor: 246/5/1957, tanggal 29 Mei 1957 mengangkat Letkol Inf. Andi Mattalatta sebagai pejabat Komandan dan Mayor CPM Haeruddin Tasning sebagai pejabat Kepala Staf KDM-SST. Peresmian terbentuknya
Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara dilaksanakan dalam suatu upacara Militer pada 1 Juni 1957 di lapangan Hasanuddin Makassar. Pada kesempatan itu pula dilakukan pelantikan Letkol Inf. Andi Mattalatta sebagai pejabat Komandan dan Mayor CPM Haeruddin Tasning sebagai pejabat Kepala Staf KDM-SST oleh Inspektur upacara KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution.
Berdasarkan Radiogram KSAD No. R/180/1957, tanggal 19 September 1957 sebutan Komandan KDM-SST diubah menjadi Panglima KDM-SST sebagai Komando utama berada dibawah komando langsung KSAD dan dibawah pengomandoan taktis Wakil KSAD (Deputi) yang berkedudukan di Makassar KDM-SST mengemban tugas pokok untuk Pemulihan Keamanan dan Pembinaan Teritorial, Penyusunan Eselon-eselon staf, dinas, jawatan, kesatuan/ kesenjataan, pendidikan teknis militer terhadap kader-kader prajurit.
5. PEMBENTUKAN KODAM VII/WIRABUANA.
Reorganisasi di jajaran TNI termasuk di lingkungan TNI-AD dilakukan pada pertengahan Dasawarsa 80-an. Proses penyempurnaan yang menuju ke arah modernisasi Angkatan Darat ini secara esensial bertujuan memantapkan kekuatan TNI-AD yang efektif dan efisien serta mampu mengemban tugas pokok TNI AD.
Untuk merealisasikan kebutuhan tersebut, maka pada awal tahun 1985 diadakan reorganisasi di lingkungan kompartemen kewilayahan di mana Kodam yang semula berjumlah 17 disederhanakan menjadi 10 Kodam. Penyederhanaan ini didasarkan atas kebutuhan dan hakikat ancaman pada saat itu. Keberadaan Kowilhan beserta Kodam-Kodam, terutama di luar Pulau Jawa dianggap tidak efisien, baik dari segi penggunaan dan pemusatan kekuatan maupun dari segi anggaran Hankam. Untuk itu dianggap mendesak untuk melakukan reorganisasi guna mewujudkan postur pertahanan yang efektif dan efisien.
Khusus untuk wilayah Sulawesi yang merupakan pintu masuk utama Kawasan Timur Indonesia, membutuhkan suatu institusi pertahanan matra darat yang kokoh dan terkendali serta mampu berperan sebagai pengendali stabilitas keamanan di wilayah.
Keberadaan dua Kodam di wilayah Sulawesi, yaitu Kodam XIII/Merdeka dan Kodam XIV/Hasanuddin, yang membagi Wilayah Sulawesi ke dalam dua wilayah pertahanan, tidak efektif lagi untuk mewujudkan konsepsi pertahanan. Apalagi jika dihadapkan pada kenyataan bahwa prioritas pertahanan tersebut perlu menerapkan azas penghematan tenaga serta pemusatan kekuatan yang memiliki mobilitas tinggi.
Bertitik tolak dari pandangan ini, KSAD Jenderal TNI Rudini pada 12 Februari 1985 mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: Skep/131/11/1985 tentang liquidasi Kodam XIII/ Merdeka dan Kodam XIV/Hasanuddin menjadi Kodam VII/Wirabuana.
Tindak lanjut pelaksanaan dari Surat Keputusan KSAD itu, maka Kodam VIII/ Merdeka di Manado resmi diliquidasi pada 1 Mei 1985, kemudian menyusul Kodam XIV/ Hasanuddin di Ujungpandang dilikuidasi pada 3 Mei 1985. setelah kedua Kodam tersebut dilikuidasi, maka di wilayah Sulawesi hanya ada satu Kodam. Panglima pertama Kodam VII/ Wirabuana adalah Brigjen TNI Nana Narundana.
Meskipun Kodam VII/Wirabuana berdiri pada 12 Februari 1985, namun lembaga ini menetapkan tanggal 20 Juni 1950 sebagai hari jadinya. Penetapan hari jadi tersebut didasarkan atas peristiwa pembentukan Komando Tentara dan Teritorium VII/Indonesia Timur, pada 20 Juni 1950.
Sejak berdirinya tahun 1957 hingga dilikuidasi pada 1 Mei 1985, Kodam XIII/ Merdeka telah dipimpin 13 orang Panglima. Dari Panglima pertama hingga yang terakhir, berturut-turut adalah sebagai berikut : Letkol Inf. Moersjid (1959), Letkol Inf Soenarjadi (1959-1960), Brigjen TNI Soenandar Prijosoedarmo (1960-1966), Brigjen TNI R. Soedarmono (1966-1967), Brigjen TNI Kaharuddin Nasution (1967-1970), Brigjen TNI Widjojo Soejono (1970-1971), Brigjen TNI Julius Henuhili (1971-1974), Brigjen TNI Eddy Wellington Pahala Tambunan (1974-1976), Brigjen TNI Edy Soegardo (1976-1978), Brigjen TNI Rudini (1978-1981), Brigjen TNI Drs. Soesanto Wismojo (1981-1983), Brigjen TNI Adolf Sahala Radjagukguk (1983-1984), dan Brigjen TNI Raja Inal Siregar (1984-1985).
Sedangkan pada Panglima yang pernah memimpin Kodam XIV/Hasanuddin sejak berdirinya hingga dilikuidasi pada 3 Mei 1985, adalah sebagai beirkut : Letkol Inf. Andi Mattalatta (1957-1959), Kolonel Inf. M. Jusuf (159-1965), Kolonel Inf Solichin Gautama Purwanegara (1965-1968), Brigjen TNI Sajidiman (1968-1970), Brigjen TNI Abdul Azis Bustam (1970-1973), Brigjen TNI Hasan Slamet (1973-1975), Brigjen TNI H. Sukma E (1975-1977), Brigjen TNI Kusnadi (1977-1979), Brigjen TNI Soegiarto (1979-1983), dan Brigjen TNI Soetejo (1983-1985). Sumber (http://www.kodam-wirabuana.mil.id)
0 comments:
Posting Komentar